Abu Sufyan bin Harb terkenal sebagai salah seorang tokoh Quraisy pada zaman Jahiliah.
Dia seorang saudagar terkenal, banyak mengenal keinginan pasar.
Sebagai tokoh masyarakat Quraisy, ia banyak mengetahui gaya hidup
masyarakatnya. Ia juga seperti yang dikatakan banyak orang, antara lain
al-’Abbas bin Abdul Muththalib, senang dipuji dan dibanggakan orang.
Ia dilahirkan sepuluh tahun sebelum terjadinya penyerbuan tentara
gajah ke Mekkah. Ia sering memimpin kafilah perdagangan kaum Quraisy ke
negeri Syam dan ke negeri ‘ajam (selain Arab) lainya. Ia suka
keluar dengan membawa panji para pemimpin yang dikenal dengan
‘Al-’Uqab”. Panji itu tidak dipegang melainkan oleh pemimpin Quraisy.
Kalau terjadi peperangan, panji itu pun hanya dipegang olehnya.
Putranya, Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiallâhu ‘anhu adalah
seorang penulis wahyu. Ia pernah diangkat menjadi gubernur negeri Syam
sebelum pemerintahan Khalifah Umar ibnul-Khaththab radhiallâhu ‘anhu. Putrinya, Ramlah binti Abu Sufyan radhiallâhu ‘anha. (Ummu Habibah), adalah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam . Dan termasuk salah seorang dari Ummahaatul Mukminin radhiallahu ‘anhunna.
Ummu Habibah, istri Abdullah bin Jahsy, pergi berhijrah ke negeri
Habasyah bersama dengan suaminya. Di negeri nun jauh itu tiba-tiba
suaminya tergoda masuk agama Nashrani. Karenanya, ia minta cerai.
Sesudah berakhir ‘iddahnya, Raja Najasyi memanggilnya seraya berkata
kepadanya, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menulis surat kepada saya untuk mengawinkan anda dengan beliau” .
Ramlah lalu berkata, “semoga Allah akan menggembirakan dan membahagiakan Paduka tuan juga!”
Ramlah pun akhirnya menjadi isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika
Abu Sufyan mendengar berita perkawinan puterinya itu dengan Rasulullah,
ia berkata, “Unta jantan ini semoga tidak dipotong hidungnya!”
Abu Sufyan mendengar dakwah yang dikumandangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
ternyata dia merupakan orang yagn paling gigih melawan dan
memeranginya. Dia pernah juga menyertai delegasi kaum Quraisy yang
dikirim menemui Abu Thalib, meminta kepadanya supaya mau menyerahkan
keponakannya (Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam) untuk
disembelih oleh mereka, dengan syarat akan menggantikannya dengan
seorang pemuda Quraisy lainya yang mereka pandang lebih mendatangkan
keberuntungan bagi mereka semua.
Dia juga pernah mengadakan persekutuan jahat dengan pemimpin Quraisy lainnya terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
kaum muslimin, dengan mendatangkan surat pernyataan memblokade Bani
Hasyim, yaitu tidak mengadakan hubungan perkawinan dan jual-beli dengan
mereka.
Tiba saatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan kaum muslimin pergi berhijrah ke Madinah. Ternyata, kaum muslimin hidup aman dan berbahagia di negeri yang tentram ini.
Pada suatu saat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengetahui
bahwa Abu Sufyan sedang dalam perjalanan dari Syam ke Mekkah, memimpin
kafilah dagang kaum Quraisy, kaum yang selama lebih dari sepuluh tahun
telah menyiksa dan menyengsarakan mereka, yang telah mengusir mereka
keluar dari negerinya dan juga merampas harta kekayaannya. Abu Sufyan
sendiri terlibat dalam perbuatan jahat dan keji itu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan hal itu, terutama kepada kaum Muhajirin, “Kafilah
dagang Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan segera akan melintasi
daerah kita. Marilah kita keluar mencegatnya. Barangkali Allah akan
menggantikan apa-apa yang telah mereka rampas dari kita dahulu!”
Ketika tiba di perbatasan Hijaz, Abu Sufyan mulai dirundung firasat
tidak enak. Ia selalu bertanya kepada setiap orang atau kafilah yang
datang dari jurusan Madinah dengan perasaan was-was dan takut. Akhirnya
ia mendengar dari salah satu sumber yang meyakinkan bahwa Muhammad telah
mengerahkan orang-orangnya untuk mencegat kafilah yang dipimpinnya.
Abu Sufyan lalu membayar seorang kurir untuk mengirimkan kabar
tentang hal itu ke kota Mekkah, namanya Dhamdham bin Amru al-Ghifari.
Dalam pesannya itu, ia berharap supaya kaum Quraisy mengirimkan
pasukannya untuk melindungi kafilah yang dipimpinnya dari serangan
Muhammad dan para sahabatnya.
Ternyata diluar dugaan, Abu Sufyan berhasil menempuh jalan keluar dari kepungan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ia segera mengirim kurir yang lain untuk menemui kaum Quraisy yang
hendak melindungi kafilahnya. Ia berkata, “Kalian keluar untuk
menyelamatkan kafilah, harta, dan orang-orang kalian. Kini, semuanya itu
sudah diselamatkan oleh Allah. Kami harap kalian segera kembali ke
Mekkah”.
Abu Jahal berkata kepada anggota pasukannya , “Demi Allah, kami tidak
akan kembali hingga sampai ke Badar. Disana, kami akan berdiam tiga
hari tiga malam, bersuka ria, memotong ternak, makan-makan,
minum-minuman keras, dan wanita menyanyi dan menari agar bangsa Arab
mendengar dan mengetahui perjalanan dan berkumpulnya kami, dan
senantiasa menakuti kami. Ayo jalan terus!”
Terjadilah peperangan di Badar antara pasukan yang dipimpin Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan
pasukan yang dipimpin Abu Jahal. Dalam peperangan itu, Abu Jahal dan
banyak tokoh Quraisy lain tewas, dan banyak juga yang tertawan. Diantara
yang tertawan itu adalah Abul ‘Ash bin ar-Rabi’, suami Zainab binti
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Kaum Quraisy mengirimkan tebusan untuk pembebasan para tawanannya, sedangkan Zainab binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan liontin pemberian ibunya, Khadijah binti Khuwalid.
Setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya,
lalu ia bersabda kepada para sahabatnya dengan penuh haru, “Kalau kalian
ridha melepaskan tawanannya dan mengembalikan hartanya, silahkan!”
Mereka menyambutnya, “Baiklah, ya Rasulullah!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta janji Abul ‘Ash bahwa ia akan melepaskan putrinya, Zainab, pergi ke Madinah. Untuk itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
mengirimkan Zaid bin Haritsah dan seorang lainnya dari orang Anshar
untuk mengawalnya. Rasulullah bersabda kepada orang itu, “Kalian berdua hendaklah menunggu kedatangan Zainab di Lembah Ya’jaj kemudian menyertainya hingga datang ke sini”.
Sesudah Abul ‘Ash tiba di Mekkah, ia langsung memerintahkan Zainab
(isterinya) pergi ke Madinah untuk menyusul ayahnya. Sesudah
keberangkatannya dipersiapkan, ia meminta kepada saudaranya, Kinanah bin
ar-Rabi’, untuk mengawal keberangaktan isterinya itu. Kinanah
berangkat di siang hari dengan mengendarai unta, membawa panah dan
busurnya, sedangkan sayyidatina Zainab di atas haudaj.
Keluarnya Zainab ini sempat membuat ketegangan di kalangan kaum
Quraisy yang baru kalah perang di Badar. Mereka mengejarnya dan berhasil
menyusulnya di suatu tempat yang bernama Dzi Thuwa. Orang yang pertama berhasil mengejarnya ialah Hubar bin al-Aswad bin Abdul Muththalib bin Ased.
Kinanah dengan cekatan menghadang Hubar seraya berkata, “Demi Allah,
jangan ada yang mendekati kami. Kalau tidak, aku tidak ragu-ragu
melepaskan panahku ini”. Orang-orang pun menjauh darinya.
Tak lama setelah itu, Abu Sufyan datang dengan rombongannya hendak
melerai kedua rombonga itu. Ia berkata: “Kinanah! Masukkanlah anak
panahmu. Kami akan berbicara denganmu”. Ia pun lalu memasukkan anak
panahnya ke sarungnya.
Abu Sufyan lalu menasehatinya: “Kamu tidak tepat membawa keluar
wanita itu di siang hari, padahal kamu tahu benar apa yang telah
dilakukan Muhammad terhadap tokoh kita di Badar baru-baru ini. Dengan
mengeluarkan putrinya di siang hari dari tengah-tengah kita, akan
menimbulkan anggapan pada masyarakat bahwa kita melakukannya dalam
keadaan hina dan lemah. Kami tidak berkepentingan untuk memisahkannya
dari ayahnya, namun kami ingin wanita itu dibawa dahulu ke Mekkah,
sampai suara-suara yang membicarakan kekalahan perang di Badar itu usai,
barulah kamu membawanya keluar secara diam-diam.
Kinanah membawa Zainab kembali lagi ke Mekkah. Sesudah beberapa
malam, ketika pembicaraan Quraisy tentang kekalahannya sudah mulai
mereda, barulah ia membawa keluar dengan diam-diam dan menyerahkannya
kepada Zaid bin Haritsah dan rekannya itu.
Dalam keadaan seperti itu, Abu Sufyan telah bertindak bijaksana
sekali hingga dapat mengekang amarah kaum Quraisy yang sedang
berkobar-kobar dan sekaligus berhasil juga memenuhi keinginan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengirimkan putrinya ke Madinah.
Belum setahun dari kekalahanya di Badar, kaum Qurasiy telah berhasil
mengarahkan kabilah-kabilah yang ada di sekitar Mekkah untuk emerangi
Muhammad. Abrang dagangan dari kafilah yang berhasil diselamatkan dari
akum muslimin dahulu itu diapakai sebagfai modal utama untuk membiayai
peperangan yang akan mereka lancarkan. Pasukan dipimpin oleh Abu Sufyan
sendiri. Ia Keluar dengan isterinya, Hindun binti Utbah.
Ternyata, dalam peperangan itu, kaum Quraisy meraih kemenangan karena pasukan panah kaum muslimin melanggar perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk
tidak meninggalkan kedudukannya di atas Bukit Uhud. Allah Ta’ala ingin
memelihara kaum muslimin yang akan mengemban tugas menyebarkan agama-Nya
ke seluruh penjuru dunia, agar mereka senantiasa bersatu padu, tidak
bercerai berai, dan selalu kompak dan patuh pada perintah pimpinannya.
Sesudah peperangan usai, Abu Sufyan naik ke atas puncak Gunung Uhud
seraya berteriak dengan suara keras, “Peperangan berakhir dengan seri,
Perang Badar dengan perang Uhud. Pujalah Dewa Hubal, agamamu telah
menang!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Wahai
Umar, jawablah mereka dan katakanlah, ‘Allah Maha Agung. Mayat
orang-orang kami di surga dan mayat orang-orang kalian di api neraka”.
Sesudah Umar menjawab pertanyaannya, Abu Sufyan berkata kepadanya, “Wahai Umar, mari Anda ke sini!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada Umar, “Hampirilah, Umar! Apa maunya?”
Umar pergi menghampirinya, lalu Abu Sufyan bertanya, “Saya mohon
kepadamu, wahai Umar apakah pasukan kami telah membunuh Muhammad ?”
Umar menjawab, “Demi Allah, tidak. Dia mendengar bicaramu itu hingga kini”.
Ia lalu berkata dengan tegas: “Saya lebih percaya kepadamu daripada
Ibnu Qamiah, yang mengatakan ia telah berhasil membunuh Muhammad!”
Sewaktu ia akan kembali pulang, Abu Sufyan mengatakan lagi, “Kita akan bertemu lagi di tahun yang akan datang di Badar”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan salah seorang sahabat untuk menjawab tantangan Abu Sufyan itu, “Katakanlah kepadanya, kami akan sambut tantanganmu”.
Abu Sufyan kembali dengan pasukannya. Di tengah jalan, ada seorang
yang berkata kepada mereka, “Kita memang telah membunuh banyak pimpinan
tertinggi kaum muslimin. Akan tetapi, mengapa kita tidak menumpas
sisa-sisanya agar tidak memberikan kesempatan hidup lagi kepada mereka?”
Abu Sufyan termakan oleh pendapat itu. Akan tetapi, belum sempat ia
memutar kepala kudanya, ia melihat Ma’bad bin Ma’bad al-Khuza’i datang
dari arah uhud. Abu Sufyan lalu bertanya kepadanya, “Ada kabar apa,
wahai Ma’bad?”
Ia menjawab, “Muhammad dan kawan-kawanya sedang mengejar-ngejar
kalian dengan pasukan yang tiada taranya. Orang-orang yang tidak ikut
berperang bersamanya, kini sedang berkumpul dan menyesali diri. Mereka
dengan perasaan marah akan mengejar kalian dan membalas dendam atas
kekejaman yang derita kawan-kawannya”.
Abu Sufyan mengigil ketakutan. Ia bertanya, “Celaka, Apa katamu?”
Ma’bad berkata lagi, menegaskan: “Menurut pendapat saya, sebaiknya kalian cepat-cepat pulang kembali!”
Abu Sufyan berkata kepadanya: “Sesungguhnya kami berniat akan kembali dan menumpas sisa tokoh mereka yang masih hidup”.
Ma’bad menasehati mereka, “Saya menasehatimu, janganlah Anda melakukannya!”
Setelah mendengar nasihat Ma’bad, mereka cepat-cepat kembali pulang ke Mekkah.
Abu Sufyan telah mengerahkan pasukannya dan mendatangkannya untuk
menyerang kaum muslimin di Uhud. Dia juga telah bertindak sebagai
panglima tertinggi dalam peperangan ini sehingga banyak sahabat pilihan
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang tewas karenanya, bahkan ia telah berjanji akan melancarkan serangan lagi tahun depan.
Lalu, apa yang mungkin dilakukan sedangkan kekayaan, perlengkapan, dan pasukan mereka tidak terbilang banyaknya?
Memang Abu Jahal, Umayyah bin Khalaf, dan Abu Lahab sudah tewas.
Kalau Abu Sufyan termasuk orang yang tewas juga tentu keadaan akan
berubah jauh, tentu banyak orang yang menganut Islam dengan
terang-terangan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermusyawarah dengan
para sahabatnya tentang Abu Sufyan; ternyata banyak diantara mereka
yang memberikan saran supaya dibunuh saja. Ia bertanggung jawab atas
tewasanya para sahabat pilihan di medan Uhud. Jadi, kalau ia di bunuh,
ini hanya merupakan qishas semata-mata, bukan suatu tindakan kejahatan.
Rasululklah Shallallahu ‘alaihi wasallam puas atas hasil musyawarah itu.
Akhirnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memutuskan
untuk mengirimkan Amru bin Umayyah ad-Dhamri dan seorang dari golongan
Anshar pergi ke Mekkah untuk membunuh Abu Sufyan.
Kedua orang itu pergi memenuhi perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Amru menceritakan misinya, “Saya keluar bersama rekan saya yang
kurang sehat. Saya membawanya diatas untaku hingga mencapai Lembah
Ya’jaj, tidak jauh dari Mekkah.
Aku berkata kepada rekanku: “Kita tinggalkan unta kita disini dan
kita pergi mencari Abu Sufyan dan membunuhnya. Kalau kamu melihat
sesuatu yang mengkhawatirkan, cepat-cepat pergi ke tempat unta itu dan
kembali menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan ceritakan apa-apa yang telah terjadi kepadanya, tidak usah memikirkan aku’.
Kami memasuki kota Mekkah. Aku menyandang sebilah Khanjar (belati).
Aku sengaja persiapkan kepada siapa-sapa saja yang menghalang-halangiku.
Rekanku berkata kepadanya, ‘Apakah tidak sebaiknya kita Thawaf dahulu
dan Shalat dua raka’at?’
Saya menjawabnya, ‘Biasanya penduduk kota Mekkah duduk-duduk di halaman rumah mereka dan saya mengenali mereka’.
Kami memasuki Baitullah, lalu kami thawaf dan shalat dua raka’at
disana, kemudian kami keluar dan melewati tempat mereka duduk-duduk.
Ternyata, sebagian dari mereka mengenaliku, lalu berteriak
sekeras-kerasnya, ‘Itu Amru bin Umayyah’.
Penduduk kota Mekkah keluar mengejar kami dan berkata:’ dia tidak datang melainkan utnuk melakukan suatu kejahatan’.
Aku berkata kepada rekanku, ‘Selamatkan dirimu!’
Kami melarikan diri keatas gunung, lalu memasuki sebuah gua. Kami
bermalam dua hari dua malam disana, menunggu keadaan tenang. Tiba-tiba
Utsman bin Malik dengan menunggang kuda ada di pintu goa. Saya keluar
dan menikamnya dengan khanjarku. Dia berteriak dengan sekeras-kerasnya
sehingga penduduk Mekkah datang menghampirinya, sedangkan saya kembali
bersembunyi. Mereka menemukannya sudah dalam keadaan sekarat. Mereka
bertanya kepadanya, ‘Siapa yang menikammu?’
Dia menjawab, ‘Amru bin Umayyah,’ lalu ia menghembuskan napas
terakhirnya dan tak sempat memberitahukan kepadanya tempat
persembunyianku. Kini mereka disibukan mengurusi mayatnya sehingga
tidak sempat mencari tempat persembunyianku. Aku tinggal di gua itu dua
hari lagi sampai keadaan menjadi benar-benar tenang.
Setelah itu, kami keluar menuju Tan’im, suatu tempat yang tidak jauh
dari Mekkah. Disana, saya menemukam mayat Khubaib tergantung diatas
sebuah kayu; disekitarnya terdapat beberapa orang pengawal. Saya
menurunkan mayatnya, lalu memanggulnya. Belum sampai empat puluh langkah
dari tempatnya, mereka sadar dan mengejar saya. Saya meletakkan mayat
Khubaib dan melarikan diri, sampai mereka tidak mengejarku lagi. Adapun
rekanku telah kembali dengan mengendarai untanya dan menceritakan
apa-apa yang dilihatnya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai mayat Khubaib, sejak saat itu tidak terlihat lagi, seolah-olah telah di telan bumi”.
Dikisahkan bahwa Abu Sufyan berkata kepada Khubaib ketika hendak
dibinihnya, “Ya Khubaib, maukah kau kalau menggantikan tempatmu
sekarang, akan kami penggal batang lehernya sedangkan aku duduk dengan
keluargaku.”
Abu Sufyan terheran-heran, “Belum pernah aku melihat ada seseorang
yang mencintai seseorang lebih dari sahabat Muhammad mencintai
Muhammad.” Dia pun lalu dibunuhnya.
Sudah menjadi takdir Allah Ta’ala bahwa Abu Sufyan tidak mati
terbunuh. Misi ‘Amru bin Umayyah gagal untuk membunuhnya. Abu Sufyan
hidup dan berkesempatan untuk mengerahkan para kabilah Arab untuk
memerangi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kali ini, ia bertujuan untuk menyerang kota Madinah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mencium
rencana jahat mereka, lalu baginda memerintahkan kaum muslimin untuk
menggali parit sesuai dengan saran Salman al-Farisi radhiallâhu ‘anhu.
Begitu parit itu selesai digali, pasukan Quraisy dibawah pimpinan Abu
Sufyan tiba, tetapi mereka tidak berhasil menerobos kota Madinah. Mereka
mendirikan perkemahannya di luar parit itu. Pada saat itu, kaum
muslimin menghadapi musuh baru dari Madinah yaitu kaum Yahudi. Pada
waktu itu Huyai bin Ahthab datang menemui Ka’ab bin Asad, pimpinan baru
Quraizhah. Dia sudah mengadakan perjanjian dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam atas
nama kaumnya. Ia lalu menutup pintu bentengnnya dan tidak memberi izin
kepada Huyai untuk memasukinya, seraya berkata, ‘Kau seorang yang sial.
Saya sudah mengadakan perjanjian dengan Muhammad dan ternyata dia tetap
setia dengan perjanjiannya itu”.
Huyai menjawab, “wahai Ka’ab, saya datang membawa berita gembira dan
kemuliaan abadi. Saya datang kepadamu dengan membawa pimpinan Quraisy
dan Ghathafan. Mereka sudah berjanji kepadaku untuk tidak akan
meninggalkan negeri ini sebelum menumpas Muhammad dan para sahabatnya”.
Ka’ab menjawab: “Kalau begitu, kau telah mengundang kehinaan abadi!”
Celaka kau, wahai Huyai, biarkanlah aku bersama dengan Muhammad!”
Akan tetapi, Huyai tidak membiarkan Ka’ab melepaskan diri dari
cengkramanannya, sampai ia mau melanggar perjanjian yang telah dibuat
dengan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam . Dia mengadakan
perjanjian dengan Huyai, “Kalau sampai Quraisy dan Ghathafan kembali dan
tidak berhasil menumpas Muhammad, saya akan berjanji memasuki bentengmu
dan hidup senasib dengan kau!”
Pada saat itu, kaum muslimin menderita ketakutan yang luar biasa
karena harus menghadapi dua front: Quraisy dan Ghathafan dari luar
serta Yahudi Bani Quraizhah dari dalam, seperti yang dilukiskan dalam
Al-Qur’an:
“(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari
bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan (mu) dan hatimu naik
menyesak sampai ketenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan
bermacam-macam purbasangka. Di situlah diuji orang-orang mukmin dan
digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang sangat.” (QS. Al-Ahzab: 10-11)
Malapetaka ini terjadi karena lebih dari dua puluh malam, kedua
pasukan yang sudah berhadapan itu tidak dapat berbuat selain menggunakan
panahnya masing-masing. Tiba-tiba Nu’aim bin Mas’ud al-Asyja’i datang
menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku ini sudah masuk Islam, tetapi kaumku belum ada yang tahu. Perintahlah aku sesuka hatimu”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Kamu
hanya sendirian. Lakukanlah apa yang mungkin kamu lakukan untuk
menyelamatkan kami karena peperangan itu tipu daya”.
Nu’aim lalu pergi menemui tokoh-tokoh bani Quraizhah. Kebetulan di
zaman jahiliyyah, mereka bersahabat . Nu’aim berkata kepada mereka:
“kalian sudah mengetahui hubungan baik antara aku dan kalian”.
Mereka menjawab: “Memang, kami tidak mempunyai kecurigaan sedikitpun terhadapmu”.
Lalu, sambungnya lagi, “Kalian telah membela Quraisy dan Ghathafan
melawan Muhammad padahal mereka tidak senasib dengan kalian. Negeri ini
adalah tanah airmu; disana terdapat kekayaan, anak-anak, dan
isteri-isterimu, dan kalian tidak mungkin bisa meninggalkan semua itu,
sedangkan Quraisy dan Ghathafan, kalau mereka melihat kemenangan, mereka
akan ribut, kalau mereka melihat lain dari itu, mereka akan melarikan
diri ke negeri mereka dan meninggalkan kalian menjadi makanan empuk
Muhammad dan kalian pasti tidak akan sanggup melawannya. Janganlah
kalian memeranginya sebelum kalian mendapat jaminan dari tokoh-tokoh
mereka agar kalian yakin bahwa mereka tidak akan meninggalkan kalian
sebelum mereka berhasil menumpas Muhammad”.
Mereka menjawab, “Sungguh, nasihatmu itu tepat sekali!”
Kemudian Nu’aim pergi menemui Abu Sufyan dan tokoh Quraisy lainya,
seraya berkata, “Kalian sudan mengetahui hubungan baikku dengan kalian
dan kerengganganku dengan Muhammad. Saya mendengar bahwa Bani Quraizhah
menyesali tindakannya dan mereka telah mengirim delegasi kepada Muhammad
dan menanyakan, ‘Apakah Anda mau menerima kalau kami meminta jaminan
tokoh-tokoh Quraisy dan Ghathafan, kemudian kami serahkan kepada Anda
untuk dipenggal batang leher mereka, kemudian kami dan anda memperkuat
persahabatan yang telah ada?”
Tampaknya, tawaran mereka itu diterima baik. Jadi, kalau mereka
meminta jaminan tokoh-tokoh kalian, janganlah kalian memenuhinyya
meskipun hanya seorang saja”.
Nu’aim lalu pergi menemui pimpinan Ghathafan dan berkata, “Kalian
terbilang keluarga dan familiku sendiri”. Ia lalu memperingatkan mereka
seperti yang disampaikan kepada pimpinan Quraisy.
Begiru Nu’aim pergi, Abu Sufyan mengirimkan delegasinya dibawah
pimpinan Ikrimah bin Abu Jahal untuk menemui pimpinan Bani Quraizhah,
seraya berkata kepada mereka, “Kami tidak bisa berlama-lama di sini.
Kita harus segera melancarkan peperangan untuk menumpas Muhammad”.
Ternyata jawaban mereka persis seperti yang dikatakan Nu’aim, “Kami
tidak bersedia berperang bersama dengan kalian kecuali kalau kalian mau
memberi jaminan yang meyakinkan kepada kami. Kami khawatir, kalian akan
segera kembali ke negeri kalian dan membairkan kami menjadi umpan
Muhammad sedang kami berada di negerinya”.
Delegasi Ikrimah kembali dari perkampungan Bani Quraizhah dengan
tangan hampa. Ia menyampaikan kepada Abu Sufyan semua yang didengarnya.
Lalu, sambut Abu Sufyan, “Demi Allah benar sekali apa yang dikatakan
Nu’aim bin Mas’ud!”
Abu Sufyan lalu mengirimkan jawaban tegas kepada Bani Quraiszah, Demi
Allah kami tidak akan menyerahkan tokoh-tokoh kami seorangpun juga!”
Berkata tokoh Bani Quraizah yang menerimannya, “Sungguh tepat apa yang dikatakan Nu’aim bun Mas’ud kepada kami”.
Allah Ta’ala mengacau-balaukan rencana jahat mereka, sementara itu,
ke perkemahan Quraisy dan Ghathafan dikirimkan angin kencang yang
memporak-porandakan kemah dan perlengkapannya, seperti yang dilukiskan
Al-Qur’anul Karim:
“Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang
telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara,
lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak
dapat kamu melihatnya.Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu
kerjakan.” (QS. Al-Ahzab: 9)
Abu Sufyan kabur kembali dengan pasukannya ke Mekkah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat itu bersabda, “Kini kami yang akan menyerang mereka dan mereka tidak akan menyerang kami lagi”.
Ternyata sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu tepat sekali, perjanjian damai antara Quraisy dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berhasil ditandatangani.
Dalam kesempatan baik ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengirimkan
surat dan delegasinya ke seluruh penjuru bumi, mengundang raja-raja dan
kepala negaranya untuk masuk agama Islam. Diantara surat-suratnya itu
ada yang dikirimkan kepada Heraclius, Kaisar Bizantium, yang dibawa oleh
Dahyah al-Kullabi.
Konon, Kaisar bersedia menerima tawaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam itu, namun baginda khawatir terhadap reaksi rakyatnya.
Ketika Heraclius ada di negeri Syam kebetulan banyak pedagang dari
Mekkah sedang berdagang di sana. Mereka telah dihadapkan kepada baginda
beberapa orang, antara lain Abu Sufyan. Heraclius mengajukan
pertanyaan-pertanyaan kepadanya seraya berkata: “Saya akan bertanya
kepadamu. Kalau ia berbohong, sangkallah!”
Abu Sufyan berkata mengenang peristiwa itu: “Kalau saya tidak
khawatir dicap pembohong, tentu saya akan berbohong kepadanya. Saya
ditanyai tentang Nabi, saya berusaha memperkecil perannya, namun baginda
tidak menghiraukan keterangan saya itu, lalu tanyanya tiba-tiba:
“Bagaimana kedudukan keluarganya di antara kalian?”
“Keluarganya terbilang keluarga bangsawan”.
“Apakah ada diantara keluarganya yang mengaku Nabi?”
“Tidak!”.
‘Apakah ada hak-haknya yang pernah kalian rampas?”
“Tidak”.
“Siapa para pengikutnya?”
‘Mereka terdiri atas para orang lemah, miskin, dan anak muda’.
‘Apakah para pengikutnya mencintai dan mematuhinya, atau meninggalkannya?”
“Tidak ada yang mengikutinya lalu meninggalkannya”.
“Bagaimana peperangan yang terjadi antara dia dan kamu?”
“Sekali kami menang dan sekali lagi dia yang menang”.
“Apakah dia pernah berbuat curang?”
“Saya tidak pernah mencurigainya. Kini, kami sedang berdamai dengan dia, namun kami tidak saling curiga”.
Heraclius berkata lagi: “Saya bertanya kepadamu tentang nasabnya,
Anda mengatakan bahwa dia terbilang keluarga bangsawan dan begitulah
para nabi umumnya”.
Saya bertanya kepadamu, apakah ada diantara keluarganya yang mengaku nabi, Anda mengatakan tidak.
Saya bertanya kepadamu, apakah ada hak-haknya yang kalian rampas, lalu dia bangkit untuk menuntutnya, anda mengatakan tidak.
Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, anda mengatakan
mereka terdiri atas para mustadh’afiin dan fakir miskin, dan memang
begitulah pengikut para rasul.
Saya bertanya kepadamu tentang para pengikutnya, apakah mereka
mencintainya atau meninggalkannya, anda mengatakan bahwa para
pengikutnya mencintainya dan tidak ada yang meninggalkannya. Begitulah
lezatnya keimanan apabila sudah memasuki kalbu seseorang, tidak akan
sudi keluar lagi.
Saya bertanya kepadamu, apakah ia pernah melakukan kecurangan, anda
menjawab tidak. Kalau Anda mau percaya, dia pasti akan menaklukkan bumi
yang ada dibawah telapak kakiku ini. Rasanya aku ingin sekali mencuci
kedua kakinya. Nah, kini, silahkan anda melakukan tugas-tugas Anda!’
Selanjutnya, Abu Sufyan berkata: ‘Aku keluar dari hadapan Kaisar
Heraclius dengan rasa takjub, lalu berkata: ‘Sungguh menakjubkan keadaan
Ibnu Abi Kabsyah ini (yakni Muhammad). Kaisar Romawi merasa takut
kekuasaannya akan terancam”.
Akan tetapi, mengapa Abu Sufyan tidak cepat masuk Islam? Apakah ia ragu-ragu akan kejujuran Muhammad?
Raja Romawi tidak mengingkari kenabian Muhammad. Malah, kalau ia ada dihadapannya, tentu ia akan mencuci kedua kakinya.
Sesungguhnya, rintangan utama yang menghalang-halangi Abu Sufyan
masuk Islam tidak lain hanyalah soal kekuasaan dan kewibawaan, yaitu
kepemimpinan Quraisy. Dia Khawatir semuanya itu akan jatuh ke tangan
Muhammad, sampai ada diantara mereka yang nekat berkata: “Ya Allah,
jika betul (Al Qur’an) ini, dialah yang benar di sisi-Mu, maka hujanilah
kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab pedih”. (QS.al-Anfaal: 32)
Ternyata Allahlah yang menentukan segalanya itu. Abu Sufyan tidak
lama memegang tampuk kepemimpinan atau tongkat komando. Sungguh benar
apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa
Quraisy sesudah perang Khandaq tidak akan mampu menyerang kaum
muslimin lagi, tetapi giliran kaum musliminlah yang akan menyerang
mereka untuk menaklukkan kota Mekkah.
Memang benteng kaum kafir dan musyrik itu harus dikikis habis dari muka bumi.
Abu Sufyan mengetahui benar apa tujuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menaklukkan
kota Mekkah. Kali ini, ia pergi seorang diri tanpa pasukan menuju ke
Medinah, tidak membawa senjata dan perlengkapan apa pun.
Ia pergi ke Medinah dengan penuh rasa gelisah dan ketakutan. Setiba
disana, ia langsung menemui putrinya, Ummu Habibah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika ia hendak duduk diatas permadani yang biasa di duduki oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, putrinya cepat-cepat menariknya dan menggulungnya.
Abu Sufyan marah sekali atas perlakuan putrinya itu dan berkata,
“Apakah kau lebih menghargai permadani itu daripadaku?”. Dia berkata
lagi,” Putriku, sungguh kamu sudah kerasukan setan!” Dia lalu keluar
pergi menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam namun beliau tidak mau menjawabnya sepatah katapun.
Dia lalu keluar dan pergi menemui Abu Bakar, meminta agar ia mau membantunya memperlunak sikap Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tetapi Abu Bakar radhiallâhu ‘anhu menjawabnya dengan tegas, “Saya tidak dapat melakukannya!”
Dia lalu pergi menemui Umar ibnul Khaththab radhiallâhu ‘anhu melihat Abu Sufyan, ia cepat-cepat memasuki kemah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan memberitahukan hal itu seraya meminta, “Ya Rasulullah, berikanlah izin kepadaku untuk memenggal batang lehernya!”
Abbas radhiallâhu ‘anhu mendahuluinya dan berkata, “Ya Rasulullah, saya sudah melindungi dan menjaminya!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu memerintahkan, “Bawa pergilah dia dan bawa kembalilah nanti siang. Kami sudah memberinya perlindungan”.
Siang harinya, Abbas membawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lagi, Rasulullah menegurnya, “Celaka kau, Wahai Abu Sufyan! Apakah kau belum juga mau sadar bahwa tiada tuhan selain Allah?”.
Abu Sufyan menjawab: “Tentu, hal itu tidak dapat saya menyangkalnya sedikit pun”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegurnya lagi, “Celaka kau Abu Sufyan, apakah kau belum juga sadar bahwa saya Rasul Allah?”
Abu Sufyan menjawab, “Kalau soal ini, rasanya dalam jiwaku masih terdapat keberatan sedikit”.
Abbas lalu membentaknya, “Celaka kau! Ucapkanlah syahadat dengan sebenarnya sebelum kepalamu berpisah dari tubuhmu” .
Dia lalu mengucapkan syahadatain bersama dengannya; telah menyatakan islamnya juga: Hakim bin Hizam dan Budail bin Warqa’.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu menyuruh Abbas supaya menahan Abu Sufyan hingga usai parade militer, ‘Tahan dia sampai melihat pawai tentara Allah!”
Abbas berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam : “Ya Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan senang juga pada pujian. Berikanlah sesuatu yang ia bisa banggakan kepada kaumnya!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Siapa
yang memasuki rumah Abu Sufyan, aman; siapa yang memasuki rumah Hakim
bin Hizam, aman; siapa yagn memasuki Masjidil Haram, aman; dan siapa
yang menutup pintu rumahnya, dia juga aman!”
Selanjutnya, Abbas bin Abdul Muththalib berkata, “Saya mengajak Abu
Sufyan duduk diatas sebuah puncak gunung, lalu pawai tentara Allah itu
mulai bergerak di hadapan kami, rombongan demi rombongan: Kabilah Aslam,
Juhainah, barisan Muhajirin dan Anshar, dan seterusnya. Setelah Abu
Sufyan melihat pameran kekuatan itu, ia berkata, ‘Sungguh besar kerajaan
anak saudaramu itu!”
Saya menjawabnya, ‘Celaka kau. Ia bukan kerajaan, tetapi kenabian!’
Abu Sufyan berkata, ‘Benar juga!’
Abbas lalu memerintahkan kepada Abu Sufyan supaya segera kembali ke
Mekkah dan memperingatkan kaumnya jangan sampai mereka melanggar
perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Abu Sufyan dan Hakim bin Hizam segera pulang kembali ke kota Mekkah.
Setiba di Masjidil Haram, keduanya berteriak-teriak memanggil kaumnya,
Wahai kaum Quraisy, pasukan Muhammad telah datang dengan kekuatan yang
tidak terbilang besarnya”.
Keduanya berkata lagi, “Siapa yang memasuki rumahku, dia akan aman;
siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan aman; siapa yang menutup
pintunya, dia akan aman. Wahai kaum Quraisy, masuklah Islam, kalian akan
selamat!”
Allah Ta’ala menakdirkan Abu Sufyan masuk Islam dan menjadi penyeru
Islam. Orang yang selama bertahun-tahun menjadi panglima kaum musyrikin,
kini sudah menjadi seorang tentara Allah. Ayah Mu’awiyah radhiallâhu ‘anhu, penulis wahyu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kini sudah masuk Islam. Kini, ia ikut serta menyebarkan agama Islam ke seluruh penjuru bumi yang jauh.
Ayah Ummu Habibah, isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah
masuk Islam. Ayah Yazid bin Abi Sufyan, kini sudah masuk Islam.
Isterinya pun, yang dinyatakan sebagai salah seorang penjahat perang,
telah masuk Islam juga, malah ia telah menghancur luluhkan berhala yang
ada dirumahnya, seraya berkata, “Selama ini, kami tertipu oleh kamu!”
Kehidupan Abu Sufyan berjalan mulus dalam pengkuan Islam. Sejarah
tidak mencatat sesuatu yang berarti kecuali sesudah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika
kaum Muhajirin dan Anshar mengadakan rapat di Saqifah Bani Saa’idah
untuk memilih Khalifah kaum muslimin. Ali bin Abu Thalib radhiallâhu ‘anhu tidak menghadiri bai’at itu karena sedang sibuk mengurus jenazah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam . Ternyata kaum muslimin telah memilih Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam .
Abu Bakar adalah laki-laki pertama yang menyatakan beriman kepada
dakwah Rasulullah, orang pertama yang mempercayainya ketika kembali dari
Isra’ dan Mi’raj. Ia berkata kepada orang membawa berita itu kepadanya,
“Kalau dia (Muhammad) sudah mengatakan demikian, tentu beritanya itu
benar!”
Dia adalah kawan senasib dan sependeritaan dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika berada dalam gua, ketika keduanya hendak berhijrah ke Madinah.
Pada saat-saat kritis seperti itu, Abu Sufyan tampil kepermukaan
seraya berkata, “Tampaknya, melihat pencemaran yang sulit dihapus
kecuali dengan darah, Wahai keturunan Abdi Manaf. Apa hak Abu Bakar
menangani urusanmu?”
Ia lalu datang kepada ‘Ali bin Abi Thalib seraya mengulurkan tangannya dan berkata, “Ulurkan tanganmu, saya akan membai’atmu!”.
‘Ali bin Abi Thalib membentaknya seraya berkata kepadanya, “Kamu
tidak menghendaki dari perbuatan itu selain untuk membangkitkan fitnah.
Saya tidak butuh nasihatmu!”
Dalam perang Yarmuk, ia ingin menebus semua dosanya terhadap Islam
dan kaum muslimin. Ia berperang mati-matian sampai salah satu matanya
tercongkel.
Ia meninggal dunia pada tahun 33 Hijrah di usia 88 tahun pada zaman Khalifah Utsman bin Affan radhiallâhu ‘anhu. Jenazahnya dishalati oleh putranya, Mu’awiyah, dan dikuburkan di Baqi’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar